Sartre Kecil: Belajar Membaca & Menulis Bukunya Sendiri

“Aku membenci masa kanak-kanakku dan segala sesuatu yang tersisa darinya”

(Jean-Paul Sartre, The Words (Les Mots), 1964.

Inilah pernyataan pahit dari filsuf eksistensialisme Prancis Jean-Paul Sartre. Dalam buku T. Z Lavine, “Sartre: Filsafat Eksistensialisme Humanis”. Sebuah buku seri petualangan filsafat, buku yang tipis dan cukup ringan bagi saya yang awam tentang filsafat. Yang menarik perhatian saya dari buku ini, salah satunya bab “MUAK”, dimana penulisnya menceritakan kehidupan awal Sartre. Tentang bagaimana seorang Filsuf yang ternyata memiliki masa kecil yang cukup tragis. Yang sebenarnya ingin saya ketahui juga adalah kisah ibunya. Kisah autobigrafinya ini dapat diketahui dalam bukunya yang berjudul “The Words”, yang dia tulis ketika berusia lima puluhan dan buku ini menggambarkan kehidupannya sampai usia dua belas di tahun 1917.

Autobiografinya Sartre merupakan serangan keras yang ditujukan pada orang tuanya, kakek-neneknya, dan masyarakat borjuis di mana ia lahir. Sartre mengecam mereka semua dari sudut pandangnya sebagai seorang eksistensialis dan posisi Marxis waktu itu. Apakah ada intelektual atau seniman yang telah menulis begitu kasar mengenai gambaran masa kecilnya sendiri? Tampaknya kita cukup ragu.

Seperti apa masa kecil ini—masa kanak-kanan dari seorang peopor filsafat eksistensialisme abad XX yang paling berpengaruh? Sartre lahir di Paris pada 1995. Ayahnya adalah seorang letnan di Paris pada 1905. Ayahnya adalah seorang letnan dua di Angkatan Laut Prancis yang menderita penyakit usus ketika bertugas di Indocina dan meninggal ketika Jean-Paul masih berusia lima belas bulan. Sartre menggambarkan ibunya, Anne-Marie, “tanpa uang dan pekerjaan”. Dia tak punya pilihan selain kembali dengan putranya ke rumah orang tuanya, Charles dan Louise (Guillemin) Schiweitzer.

Keluarga Schweitzer leluhurnya ada di Alsace, yang saat ini menjadi bagian wilaya Jerman. Putra dari adik Charles Schweitzer adalah seorang ahli teologi dan misionaris medis Protestan untuk Afrika yang terkenal, Charles Schiweitzer, seorang guru bahasa dan pengarang buku pelajaran bahasa Jerman yang dipakai di seluruh sekolah menengah Prancis. Meskipun Charles Schiweitzer untuk membiayai Anne Marie dan putranya. Sebagai timbal-balik, Anne Marie dan putranya. Sebagai timbal-balik, Anne menjadi pembantu bagi orang tuanya, dan diperlakukan seperti anak-anak  lagi, benar-benar harus menuruti perintah dan keinginan mereka. Sartre menulis dalam autobiografiya bahwa:

“Dia diperbolehkan meminta uang: mereka hanya lupa memberi saja. Teman-teman sebelumnya, sebagian besar sudah menikah, mengundangnya makan malam, dia harus meminta izin dulu sebelumnya, dan berjanji akan pulang sebelum pukul sepuluh….undangan menjadi jarang sekali”

Putra Anne-Marrie berjanji, seperti yang bisa dilakukan anak kecil, bahwa jika kelak dewasa akan menikahinya dan menjauhkannya dari tekanan kehidupan yang keras. Namun yang paling Sartre tekankan adalah bahwa sebagai anak kecil dia sudah mempersepsikan perlakuan kakek-neneknya pada ibunya sebagai eksploitasi yang dilakukan kaum borjuis dan hipokrit yang menyembunyikan eksploitasi dan egoismenya dalam topeng prinsip-prinsip liberal.

Autobiografinya Sartre secara khusus terdengar keji dalam mengungkapkan kepura-puraan borjuis dan sikap hipokrit Charles Schweitzer. Dia bersosok tinggi, lelaki bercambang yang tampan. Namun meskipun dia memerintah rumah tangga tersebut dengan memerankan kepala keluarga mirip Tuhan yang keras, Charles Schweitzer benar-benar menyayangi cucunya dan menjaganya tetap di rumah sampai berusia sepuluh tahun, memberinya pendidikan sendiri daripada mendaftarkannya ke sekolah umum yang berstandar rendah.

Di autobiografinya, Sartre juga mengungkapkan kemunafikan kaum borjuis yang tersembunyi dalam niatan mulia kakeknya yang memperlakukan seseorang anak laki-laki sebagai seorang jenius kecil yang layak mendapatkan pendidikan privat berstandar tinggi, ada motif keegoisan tinggi: kehadiran cucu cerdasnya dalam rumah tangga itu menciptakan kebanggaan bagi Charles Schweitzer dan menyurutkan ketakutan akan kematiannya sendiri. Itulah alasan keegoisan yang disembunyikan di balik idealisme borjuis mengenai pendidikan superior, sehingga Jean-Paul Sartre dijaga untuk selalu di dalam rumah selama lima tahun melewati waktu yang umum untuk masuk sekolah, mendapatkan pendidikan yang buruk dari pengajaran yang di luar kebiasaan, pergaulan dengan anak-anak sebayanya dibatasi, dan tetap dijadikan tahanan, diasingkan dalam sebuah apartemen di lantai teratas 1 Rue le Goff di Latin Quarter Paris. Bahkan perkembangan fisiknya diabaikan oleh kakek-neneknya.

Sartre mengatakan bahwa mereka tidak memperhatikan dan tidak mencari pertolongan medis untuk kelainan di mata kanannya yang menjadikannya bermata juling yang membuat dia terkenal sekaligus secara pelahan membuatnya kehilangan penglihatannya. Ini adalah contoh lain kemunafikan kaum borjuis, dengan kata-kata mulianya yang manusiawi, menyembunyikan ketidak-acuhan dan egoismenya.

 

Dia Mengajari Dirinya Sendiri Membaca, Hingga Menulis Bukunya Sendiri

Bagaimanapun, ada satu keuntungan besar dikurung dalam apartemen berlantai enam di Rue le Goff. Anak kecil tersebut hidup dalam dunia buku-buku studi kakeknya, buku-buku perpustakaan peminjaman studi kakeknya, buku-buku yang dipakai Annie-Marie membaca cerita untuknya. “Aku mengawali hidupku,” Sartre berkata, “seperti aku tidak ragu mengakhirinya: di antara buku-buku.” Dunia buku ini menjadi dunia yang selalu ingin dia miliki dan kuasai, dan pada usia tiga tahun dia “kelewat senang”: Dia mengajari dirinya sendiri untuk membaca. Menjawab sanjungan-sanjungan kakek-nya, anak kecil tadi menjadi monster kecil, dengan cerdiknya memainkan peran seorang anak jenius dan dengan cepat mengambil langkah berikutnya—dia mulai menulis bukunya sendiri.

Tapi yang menentukan nasib Sartre, pekerjaan seumur hidupnya, adalah Charles Schweitzer, proyek asli Sartre yang menjadi proyek pengabdian seluruh sisa hidupnya—proyek penulisan. Sartre dalam The Words mengenang kejadian ketika kakeknya dengan sangat serius, berbicara langsung pada anak berusia tujuh tahun di pangkuannya, mengatakan “tentu bisa dimengerti kalau anak kecil itu ingin menjadi penulis,” bukannya mengingatkan bahwa sastra tidak bisa untuk mencari makan. Ini merupakan saat ketika Sartre telah membuat pilihannya sendiri untuk menjadi apa kelak. Dan seperti yang bisa kita lihat, psikoanalisis eksistensialisme Sartre menyatakan bahwa kejadian yang sama terjadi pada perkembangan semua kepribadian—kejadian ketika seorang anak memilih proyek aslinya yang akan mengerahkan sisa hidupnya. Charles Schweitzer sama sekali tidak menghargai hal ini, bahkan terhadap pilihan Sartre akan karirnya kelak, cita-cita menjadi seorang penulis. Sebaliknya, Sartre mengutuk pemujaan kata-kata dan imajinasi kreatif individu yang dipaksakan kakeknya pada dia, dan dia mengutuk pandangan mengenai sastra yang didapat dari kakeknya, pandangan bahwa sastra bisa menyelamatkan seseorang.

Pada akhir The Words, Sartre mengatakan bahwa dia telah menghancurkan ilusi tadi sampai berkeping-keping. Sastra, sekarang dia pandang, “tidak memiliki apa pun atau siapa pun.” Sastra dipastikan hanya sebagai cermin yang memberikan gambaran diri kita sendiri. Dia menyatakan bahwa karier penulisnya ini palsu, kepura-puraan muluk seniman borjuis yakni bahwa dia adalah Tuhan, penyelamat manusia dari kehancuran.

Kepalsuan sampai ke tulang-tulangku dan sangat menipu, aku dengan sangat menulis mengenai kesedihanku.

Selama sepuluh tahun terahir, Sartre menulis, “Aku telah menjadi orang yang terjaga, terembuhkan manis-pahit yang begitu lama.” Dia telah tersadar bahwa dia memiliki peran yang secara politis terkait dengan pemikiran Marxis dan tindakan kolektif. Namun kepura-puraan palsu yang sudah begitu lama ada telah menelan jalannya menuju kepribadiannya, dan dia sadar kalau dia tidak akan tersembuhkan dalam hal ini. “Aku masih menulis,” katanya, “apa yang bisa kulakukan?”.

Pendidikan Sartre selanjutnya ada di beberapa sekolah terbaik Prancis, berakhir di Ecole Normale Superieure, sebuah tempat pendidikan kesarjanaan dosen-dosen perguruan tinggi atau universitas, pendidikan kesarjanaan yang paling eksklusif dan unggul di seluruh Prancis. Setelah wisuda Sartre, ada ujian bagi para dosen filsafat, yang pertama kali gagal dicoba oleh Sartre. Tetapi ketika ikut kedua kalinya. Sartre menjadi yang terbaik, urutan kedua adalah Simone de Beauvoir. Mereka bertemu sebentar sebelum ujian dilaksanakan pada musim semi 1929 dan menjadi kekasih sekaligus sahabat, rekan dalam filsafat dan politik. Saat itu selama lebih dari lima puluh tahun sampai wafatnya Sartre—yang selalu tidak menginginkan “pernikahan borjuis” bagi diri mereka berdua. Simone adalah seorang kontibutor penting bagi peikiran eksistensialisme dan politik Prancis—melalui cerita pendek dan novel; studi penting mengenai perempuan (The Second Sex) dan mengenai pertambahan usia (The Coming of Age); dan berbagai esai filsafat. Sebagian besar dari apa yang kita ketahui mengenai perkembangan pemikiran Sartre muncul dari auobiografinya Simone de Beauvoir sendiri, yang terdiri atas empat volume.

***

Sumber tulisan: Dari buku T. Z Lavine, “Sartre: Filsafat Eksistensialisme Humanis”.

Sumber gambar: eighthdaybooks.com

Leave a Reply