Suara mereka riuh rendah mengisi seluruh ruang pikirku. Tak henti-henti bergema, tiap detik, menit, dan seterusnya. Aku ini siapa? Kenapa mereka percaya padaku. Aku ini punya apa? Kenapa mereka berharap padaku? Aku memang ada di tengah mereka, mendengarkan setiap kisah mereka, rencana-rencana mereka. Namun siapa aku hingga mereka peduli bahwa aku peduli. Saat itu, biarkan waktu berhenti, biarkanlah sejenak memberi ruang dan waktu bagiku mendengarkan kisah mereka. Selanjutnya? Jangan tanya selanjutnya, karena aku pun tak mampu memastikan bahwa kita akan melakukan ini dan itu. Jangan pula tanya keinginanku, karena keinginanku sudah jelas bahwa aku ingin mewujudkan mimpiku dan mimpi mereka. Kita sama-sama mewujudkan mimpi.

Hidupku dimulai dan disebabkan oleh seorang perempuan. Perempuan yang terus membuatku menunggunya. Membuatku terus berharap bahwa esok atau satu saat kita bisa bertemu. Perempuan yang terus membuatku berimaji tentang apa yang dia lakukan. Dia yang telah mendorongku pada satu ruang dimana aku tak pernah siap menatapnya. Aku yang ringkih hanya bisa diam di satu tempat. Tanganku gemetar dan mulutku bungkam. Saat itu aku hanya berpikir untuk menyembunyikan wujudku dari segala tatapan.

Aku ini siapa? Aku bukan siapa-siapa! Aku mungkin pengikut seseorang. Mungkin juga pengikut sebuah paham. Atau aku hanya mengikuti diriku sendiri. Sosok yang tak pernah mampu memberanikan diri untuk keluar dari jalurku. Sosok yang terlalu kikuk melangkah lebih jauh seperti mereka. Aku masih di satu ruang yang tak seorang pun peduli bahwa ada aku di ruang itu.

Lalu perempuan itu terus mendorongku. Benar, aku semacam dipaksa untuk bangkit sendiri. Aku dibiarkan mencari cara sendiri bagaimana keluar dari ruang itu. Caranya memaksaku berbuat sesuatu untuk hidupku sendiri sungguh tak umum. Dari jarak yang begitu jauh, dia mengontrolku namun di saat tertentu dia membiarkanku berdiri sendiri, berjalan sendiri, hingga tanpa sadar aku terus berlari dari satu ruang ke ruang lainnya. Bahkan hingga detik ini, aku tak paham sudah sejauhmana aku berlari. Dan perempuan itu? Dia tetap dengan dirinya, pandangnya terus mengarahkan pandanganku akan sesuatu.

Dia tak pernah lelah terlibat dalam hidupku. Dadanya selalu berdesir ketika mendengar sudah sejauhmana berjalan. Ia tak henti menangis ketika mendengarku tersandung saat berlari, tapi tanpa air mata. Hanya dia dan Tuhannya yang begitu paham betapa tanpanya, aku bukanlah siapa-siapa. Karena semua yang terjadi saat ini adalah pertanda darinya. Dia adalah ibuku.

**

Sumber gambar: ink painting Gao Xingjian