“Bunda, aku disunat biar gak sakit kan? Tara mau disunat, kan biar sehat”

(Bentara Falasifa Fauzan, 4,3 tahun)

 

Kalimat tersebut terlontar dari bibir mungilnya saat kami telah meyakinkannya agar dia mau dikhitan pada seminggu sebelum Idul Fitri 2017. Tepatnya pada Selasa, 20 Juni 2017, hari itu merupakan hari terpenting bagi kami sebagai orang tua, terutama anak kami, Bentara Falasifa Fauzan (Tara). Beberapa minggu dan bulan sebelumnya, Tara masih menolak dan marah ketika kami membahas tentang rencana khitannya. Sampai akhirnya ketika pulang ke rumah neneknya di Kabupaten Cirebon, Tara pun pelahan-lahan mulai bersedia dan tak lagi marah ketika kami membahas tentang rencana khitannya.

Rencana untuk khitan Tara sebenarnya sudah diniatkan sejak tahun 2016, karena ada beberapa sepupunya yang juga dikhitan di usia balita. Sampai akhirnya pada libur lebaran tahun 2017 ini saya dan suami sepakat mengambil cuti kerja dari lembaga masing-masing dan kami bersyukur segalanya berjalan lancar. Mengenai usia anak saat dikhitan, setiap pengalaman dan keyakinan orang tua memang berbeda-beda. Ada orang tua yang memang memiliki prinsip cukup kuat untuk mengkhitan anaknya di usia balita, bahkan ada juga yang melakukannya tepat setelah dia lahir. Namun ada juga yang menunggu kesediaan anaknya atau menunggu anaknya meminta untuk disunat. Di keluarga besar ibu saya yang tinggal di Kabupaten Cirebon, pada umumnya anak-anak dikhitan di usia kelas Tiga sekolah dasar (SD). Sementara di keluarga besar suami saya di Kabupaten Bandung, biasanya menjalankan khitan bagi anaknya di usia balita atau di bawah usia lima tahun.

Benar, Memang Tidak Mudah Meyakinkan Balita

Rencana kami untuk melakukan khitan bagi anak kami di usia 4,3 tahun ternyata banyak yang mempertanyakan. Misalnya, “apakah anak sudah minta?”, “anaknya mau gak?”, “nanti kalau anak menolak gimana? gak kasihan?”, “kenapa gak nunggu nanti saja kalau sudah besar?” dan sebagainya. Pertanyaan tersebut tidak hanya dilontarkan secara langsung kepada saya maupun suami, namun juga secara tidak langsung di sosial media. Bahkan setelah khitan terlaksana, pun pertanyaan terus terlontar dari orang-orang yang kami kenal. Jika sudah begitu, biasanya ayah Tara yang sangat prinsipil akan menjawab begini, “Khitan kan bukan tanggungjawab anak, tapi tanggungjawab orang tua.” Seakan ingin menjawab pertanyaan mengapa tidak menunggu anak meminta duluan?. Apa yang ditegaskan suami saya juga bukan berarti tanpa upaya mendiskusikannya dengan anak kami yang masih balita. Karena menjelaskan hal ini kepada anak balita tidaklah mudah. Tidak mudah menjelaskan padanya bahwa khitan atau yang biasa dikenal dengan istilah “sunat”, bukan sekedar tuntunan syariat. Banyak sekali hikmah dan keajaiban yang tersimpan di dalamnya. Secara kedokteran, khitan terbukti bisa mencegah dan mengurangi infeksi pada saluran kencing dan alat reproduksi, dan sejumlah manfaat lainnya dari khitan.

Jadi memang benar, tidak mudah meyakinkan balita seusia anak kami agar dia mau dikhitan. Walaupun kita sebagai orangtua paham arti pentingnya sunat bagi kesehatan anak laki-laki kita, tetapi pada kenyataanya, meminta anak untuk berani sunat tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Apalagi anak di usia balita, bukan anak yang beranjak besar atau abege, dan juga bukan balita yang baru dilahirkan. Sebagian besar anak laki-laki takut untuk disunat. Mereka takut jika sunat akan terasa sangat menyakitkan, mereka takut jika nanti akan berlumuran darah, mereka takut jika sakitnya akan berlangsung lama dan tidak akan sembuh, serta masih banyak lagi hal-hal yang membuat anak laki-laki takut untuk disunat.

Bukan Semata Argumen, Namun Juga Pengalaman Anak Seusianya

Segala lontaran para orang tua lainnya kepada saya saat itu memang cukup memengaruhi perasaan saya. Saya sempat ragu dan membayangkan bagaimana anak saya kesakitan saat dikhitan di usia sekecil itu. Namun saya kembali meyakinkan diri bahwa semua rasa sakit itu hanya sementara. Saya percaya dengan kemampuan dokter saat ini, belum lagi didukung dengan sejumlah obat untuk mengurangi rasa sakit itu. Hingga akhirnya ketika sampai di rumah neneknya, ada salah satu sepupunya yang juga telah dikhitan di usia sekitar 4 tahunan. Sepupu tersebut dengan bangga menceritakan bagaimana dikhitan itu gak sakit, dikhitan itu enak karena mendapat banyak hadiah, saat pipis juga gampang, dan lain-lain. Setelah cukup lama saling berinteraksi dan mengobrol, saya pun mulai meyakinkan Tara dengan iming-iming hadiah mobil-mobilan sebelum dan setelah dikhitan.

Pada tahap itu, Tara mulai tertarik untuk disunat. Bahkan, beberapa menit sebelum disunat, dia asyik bermain di sekitar klinik tempat dia disunat, dia bahkan terus bertanya kapan akan disunat. Bahkan menurut ayahnya, saat di ruangan khitan, Tara masih tertawa dan asyik becanda dengan dokternya. Rasa takut muncul ketika dia mulai melihat alat-alat kedokteran yang digunakan untuk memotong ujung daging dari kelaminnya. Ujung daging dari kelamin anak laki-laki yang belum disunat, sedikit menjulur keluar seperti belalai mini. Ujung inilah yang harus dipotong karena jika tidak dipotong, makan sisa-sisa pembuangan urine atau air kencing akan mengendap dan arena air kencing merupakan kotoran, maka akan mengundang banyak bakteri yang berbaya yang dapat merusak jaringan dan fungsi alat kelamin. Dalam agama islam, khususnya pada anak laki-laki. Sunat dapat diartikan sebagai prosesi pemotongan ujung kelamin anak laki-laki. Saat itulah Tara terus menangis sambil berteriak histeris dan cukup lama. Sampai kami tiba di rumah pun dia tetap menangis. Sebagai seorang ibu, hati saya rasanya perih melihat dia terus berteriak kesakitan. Sampai akhirnya dia mau meminum sejumlah obat pemberian dokter.

Jadi, terkait bagaimana meyakinkan anak berdasarkan pengalaman kami, memang tidak cukup untuk meyakinkan dia hanya dengan argumen, apalagi anak balita. Namun bisa dengan meyakinkan dia dengan mengajak teman atau saudara yang pernah dikhitan, ceritakan bagaimana mereka dikhitan, lalu tetap puji dan yakinkan bahwa dia seorang anak yang pemberani, selanjutnya adalah merayunya dengan hadiah.

Tips Merawat Anak Pasca Disunat

  • Memastikan Istirahat dan Minum Obat Secara Teratur

Teriak kesakitan anak kami ternyata tidak berlangsung lama, saya semakin lega dan terus bersyukur karena Tara termasuk anak yang mudah memahami kebutuhannya sendiri. Maksud saya adalah dia termasuk anak yang ketika sakit, dia sadar dia harus minum obat. Itu karena dia tidak mau terus menerus sakit. Sehingga dalam satu minggu, luka sunatnya sudah mulai kering dan hari ketujuh dia sudah mulai berlari-lari. Setiap minum obat, inisiatif itu justru muncul dari dia sendiri. Obat-obatnya juga beragam, mulai dari obat untuk mengurangi rasa sakit, obat agar anak cepat tidur, obat agar anak tidak sakit, serta salep antibiotik yang harus dioleskan pada luka bekas laser. Semua obat-obatan yang diminum, dia minum secara teratur. Istirahat pun dia sangat teratur. Dia juga sangat menurut ketika harus menggunakan celana sunat yang diberikan dokter. Sehinngga semuanya berjalan lancar.

  • Menciptakan Beragam Kegiatan Kreatif di Tempat Tidur

Bagi para orang tua yang anaknya dikhitan di usia cukup besar seperti usia 8-14 tahun, mungkin tidak perlu banyak cara agar anak tidak bosan di tempat tidur. Namun bagi ibu-ibu seperti saya yang harus mengurus anak di usia balita, tentunya butuh strategi khusus agar anak tidak rewel karena bosan di tempat tidur. Berdasarkan pengalaman saya, kegiatan yang kami lakukan untuk mengalihkan rasa sakit dan rasa bosannya di antaranya adalah membacakan cerita atau dongeng anak. Bahkan bukan hanya saya yang harus mendongen, ketika ada teman-teman atau saudara atau bahkan neneknya, saya minta mereka untuk mendongeng atua bercerita. Mendongeng saja pun tidak cukup, saya yang telah bersiap mengoleksi video program edukasi anak, cukup terbantu ketika Tara sudah mulai bosan diajak bercerita. Sehingga salah satu caranya adalah kami memutarkan video program anak. Kami jarang menyuguhkan program di televisi swasta, karena sejak berumah tangga memang kami tidak menghadirkan televisi di rumah kami. Mendongeng dan menonton program edukasi anak saja pun tidak cukup, maka cara lain adalah menyuguhkan beragam permainan seperti mobil-mobilan, menggambar dan lain-lain, dan yang terpenting dari semua cara itu adalah dia tidak sendirian melakukannya, kebetulan kami terbantu dengan banyak sepupu seusianya yang turut menemaninya agar tidak kesepian.

  • Tetap Harus Sabar Maksimal

Istilah sabar maksimal sepertinya sangat tepat bagi kami para orang tua yang mengurus anak balita usia dikhitan. Karena sadar di sini bukan sekadar menahan emosi, namun juga bagaimana memastikan anak kita benar-benar nyaman. Misalnya ketika anak masih belum mau pipis di kamar mandi karena masih sakit, maka tengah malam kita harus siap mengingatkan dia agar pipis di ember. Atau, ketika dia tiba-tiba malah sudah pipis di celana yang berdampak pada lukanya yang akan basah lagi. Begitu pun memastikan dia tepat waktu dalam minum obat dan makan makanan yang sehat. Termasuk ketika lukanya sudah kering, memastikan agar dia tidak terlena bermain lama-lama sampai lupa memerhatikan luka bekas khitannya.

  • Berdo’a untuk Kesembuhannya

Saya pikir berdo’a sudah menjadi sesuatau yang alami dalam benak kita manusia. Bahkan ketika kita dihadapkan dengan segala kerepotan menghadapi anak kita. Terkadang dalam beberapa hal, banyak orang yang berusaha tapi belum tentu semua orang berdo’a atas usahanya. Tapi bagi orang tua yang merasakan bagaimana sakitnya anak kita, biasanya berdo’a akan terjadi secara alami muncul dalam hatinya serta dilengkapi dalam ibadah-ibadah solatnya. Amiiiin.

****

Demikian pengalaman saya dan suami saat merayu anak agar mau dikhitan dan proses merawat pasca khitan sampai benar-benar lukanya kering. Pengalaman saya ini dalam beberapa hal mungkin kurang sempurna, jadi mari berbagi pengalaman dari orang tua lainnya yang mungkin akan sangat baik melengkapi pengalaman saya ini.