Ketika Si Kecil Merasa Malu Karena “Saru”
“Jangan di sini bunda, saru! Aku gak mau bunda! Pake bajunya di kamar saja bun, saru kelihatan orang!”
Sejak si kecil mengenal istilah “Saru”, dia sangat protektif terhadap dirinya sendiri. Jika saya tidak keliru, Tara mengenal, memahami, dan memprakttikkan makna dari istilah “saru” saat usia tiga tahunan. Kali pertama mengetahui istilah saru dari sekolahya. Istilah “saru” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang bisa bermakna “tidak pantas”, “jorok” atau “tidak sopan atau tidak senonoh”. Bisa juga diartikan sebagai kelakuan atau tingkah laku yang tidak baik (malu-maluin).
Sejak mengenal isitlah Saru, Tara tidak pernah mau lagi hanya dengan memakai kaos dalam. Memakai baju harus lengkap, kaos dalam, kaos luar, celana dalam dan celana luar. Sepanas apapun, dia harus berpakaian lengkap. Selain baju harus lengkap, yang paling sering adalah rasa malunya ketika memakai baju. Misal, dia sedang asyik bermain di rumah dengan temannya, lalu tiba-tiba dia kebelet pipis. Maka, membuka celana harus di kamar mandi karena malu dilihat temannya yang sedang bermain. Padahal, temannya ada di ruangan lain. Sering juga, temannya diminta keluar rumah dulu karena dia ingin membuka baju atau celananya.
Pada tahap di mana dia merasa malu pada sesuatu yang tidak pantas, di sisi lain ini membuat saya lega. Setidaknya di usia tiga tahunan dia sudah paham bersikap yang tepat untuk melindungi dirinya agar tidak malu. Dia juga sudah paham bagaimana sikapnya untuk melindungi rasa tidak nyamannya. Namun, di usia yang masih dini, terkadang juga sempat membuat saya kerepotan.
Contohnya, ketika usai dikhitan di usianya yang genap 4 tahun. Proses khitan Tara dilakukan di rumah ibu neneknya, di Kabupaten Bandung. Nah, dalam proses merawat pasca khitan, saya sempat kewalahan karena dia hanya mau dibantu oleh saya dan ayahnya. Sementara saat itu ayahnya masih repot di luar rumah.
Dia sadar bahwa dia tidak tinggal di rumahnya di Jogja, sehingga dia sangat berhati-hati saat akan diganti celana dalamnya, serta proses saat dia akan pipis, dan sejumlah upaya agar luka khitan cepat kering. Setiap saya mengganti celananya, dia menolak karena dia tidak berada di dalam kamarnya sendiri, padahal pintu kamar tertutup. Dia menolak sambil berteriak “Saru, bunda!”. Lalu, ketika sarung penutup luka harus dibuka agar cepat kering, dia menolak karena malu. Dia menolak jika harus membuka sarungnya meskipun tertutup celana dalam. Lagi-lagi, alasannya malu karena “saru”.
Setelah luka khitannya kering dan dia mulai masuk sekolah lagi, dia juga menolak untuk dimandiin gurunya atau mandi bersama teman-temannya. Kenapa? Karena saru, apalagi dia baru saja dikhitan, dia merasa malu karena saru dan berbeda dengan teman-teman lain yang belum dikhitan. Soal mandi bersama alias berama-ramai dalam satu kamar mandi, saya dan ayahnya memang menyarankan agar dia tidak mandi beramai-ramai, namun sendirian. Sejak itu, dia kemudian meminta bunda di sekolah untuk mandi sendirian saja.
Masih banyak lagi pengalaman bagaimana ananda begitu keras melindungi dirinya. Namun segala sesuatu memang butuh proses, kami sebagai orang tua terkadang belum siap dengan perkembangan dia yang begitu cepat. Sehingga, hal-hal seperti ini terkadang di satu sisi membuat kami kewalahan dan masih butuh kesabaran ekstra. Apalagi ketika dia tiba-tiba histeris mengungkapkan rasa malunya karena saru. Teriakan histerisnya inilah yang terkadang membuat kami harus pintar mencari kalimat yang tepat agar dia percaya. Percaya bahwa kami sebagai orang tuanya akan melindunginya. Di luar semua pengalaman itu, kami sebagai orang tua bersyukur karena dia sudah mulai mampu bersikap melindungi dirinya dan rasa tidak nyamannya atas sesuatu.
Bagaimana dengan bunda? apakah ada pengalaman tentang perkembangan si kecil tentang rasa malunya? Senang sekali jika ikutan berbagi.
Salam hangat,
Alimah Fauzan
Leave a Reply