Waspada Main Bubble di Gunung Tangkuban Perahu

Karena fokus si kecil bukan lagi jalan yang ada di depannya. Namun bagaimana menghasilkan banyak gelembung, serta kemana gelembung-gelembung itu terbang. Sementara jalan setapak yang sempit naik ke atas gunung tak lagi diperhatikannya.

Siapa yang tak kenal Gunung Tangkuban Perahu? Jika dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, mungkin masih banyak yang belum mengenal Gunung Tangkuban Perahu. Mengenal dalam kamus saya adalah mengetahui secara langsung, merasakan bagaimana suasananya, menghirup udaranya, serta menerjang angin yang berhembus di atasnya. Jadi, mengenal berbeda dengan sekadar mengetahui dari gambar atau membaca informasi tentang Gunung Tangkuban Perahu.

Sebenarnya saya ingin bercerita tentang pengalaman singkat berwisata di Gunung Tangkuban Perahu. Menjadi warga Jawa Barat (Jabar) bukan berarti pernah mendatangi semua sudut di Jabar. Termasuk berwisata di Gunung Tangkuban Perahu, saya baru berkesempatan melihat langsung di awal tahun 2017. Itu pun karena sebuah event family gathering dari kantor ayah Tara yang dilakukan setahun sekali. Selain ke Gunung Tangkuban Perahu, ada beberapa lokasi wisata lainnya, namun di artikel ini saya cerita satu lokasi dulu.


Kalau kita menilik informasi lengkapnya, Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, Gunung Tangkuban Perahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17 oC pada siang hari dan 2 °C pada malam hari. Gunung Tangkuban Perahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Nah, sudah terbayangkan bagaimana dan apa saja yang pastinya disiapkan orang tua saat berlibur bersama si kecil? Apalagi berhari-hari di beberapa lokasi yang berbeda. Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satunya. Kita semua bisa membayangkan bagaimana kondisi sebuah gunung. Naik turun yang ekstrim, bebatuan, pepohonan, jurang, dan semacamnya.

Saat kali pertama berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu, Bentara, anak kami juga ikut serta karena tujuan utamanya memang untuk menghiburnya. Sebuah tempat wisata pastinya tak pernah sepi dari pengunjung, khususnya saat pagi sampai sore hari. Karena tak pernah sepi pengunjung, maka beragam macam mainan dan makanan dijual di sana. Salah satu yang menarik perhatian Bentara adalah mainan bubble yang ditembakkan atau ditiup secara manual.

Namanya mainan bubble atau gelembung, maka sudah sekaligus disediakan air sabunnya. Artinya si kecil main bubble sambil membawa air sabun. Dua tangannya semua sibuk, begitu pula matanya yang fokus memperhatikan kemana gelembung terbang. Di saat inilah, kondisi di mana si kecil tak lagi memperhatikan apa yang dilewatinya.

                                                                Tara bersama tante yang ikutan berlibur

Main bubble di sebuah gunung, pastinya tak leluasa seperti main di lapangan. Sehingga orang tua seperti saya harus fokus memperhatikan dan menuntun jalannya. Jalanan setapak naik turun dan bebatuan, membuat si kecil mudah jatuh, apalagi kalau fokus mata dan pikirannya hanya pada bubble. Itulah kenapa saya dan ayahnya bergantian untuk mengawasinya. Karena melenceng atau lalai sedikit saja tak memperhatikannya, maka dia bisa saja jatuh karena tersandung. Apalagi tepat di samping jalan setapak adalah sebuah jurang.

Kebetulan, mainan yang langsung dilirik si kecil adalah bubble. Setelah beberapa saat menawar harga, si kecil langsung bermain bubble. Kami pun mulai naik ke atas gunung, dan ternyata memang tak bisa secepat mereka yang berjalan tanpa anak kecil. Jadilah, kami mengawal Tara dan terkadang memapahnya yang berjalan sambil asyik bermain bubble. Karena fokus si kecil bukan lagi jalan yang ada di depannya. Namun bagaimana menghasilkan banyak gelembung, serta kemana gelembung-gelembung itu terbang. Sementara jalan setapak yang sempit naik ke atas gunung tak lagi diperhatikannya. Jangan harap juga si kecil yang sudah antusias bermain, tiba-tiba disuruh berhenti dulu hingga tiba di atas gunung. Sungguh tak mudah. Bagaimana kalau digendong? Silahkan saja, tapi anak kami kebetulan tak mau digendong, dia juga sudah cukup berat.

Setelah sampai di atas gunung, pengawasan pun tetap harus dilakukan karena memang tempatnya sempit. Orang-orang juga ramai bergantian ke atas gunung. Ada juga anak kecil lain yang sempat terjatuh. Untungnya hanya keseleo di tempat yang masih tegolong aman. Nah bunda, saya paham, bahwa kita pastinya tak sabar ingin berpose di antara pemandangan menarik. Ini juga seperti yang dirasakan saya, namun tetap membagi perhatian mata dan pikiran kita ke si kecil adalah nomor satu. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika si kecil tanpa pengawasan, apalagi tempat-tempat yang potensi untuk jatuh sangat besar.

Mainan bubble dan Gunung Tangkuban Perahu hanya salah satu contoh saja. Karena saya yakin mainan lain atau apapun, jika tanpa adanya pengawasan dari orang tua akan berdampak negatif.

Kira-kira demikian bunda pengalaman kami saat berwisata di Gunung Tangkuban Perahu. Pengalaman bunda yang lain mungkin akan berbeda dengan saya, senang sekali jika bunda-bunda lain pun mau berbagi pembelajaran saat bersama si kecil.

Salam hangat dari saya,

Alimah Fauzan

Leave a Reply