Kami Butuh Masa Depan, Bukan Bunga
Tulisan saya di peranperempuan.id
***
“….Saya memilih keluar dari desa saya dan bertekad kuliah di Yogyakarta. Ketika saya masih menetap di desa, laki-laki mengantri meminta persetujuan saya setelah disetujui orang saya. Namun pilihan saya tetap sama, saya tidak ingin menikah di usia muda. Sejujurnya saya tidak benar-benar ingin melanjutkan kuliah, tapi ini adalah satu-satunya alasan agar bisa keluar dari desa. Namun saya hanya berpikir tentang diri saya sendiri. Kenapa? Karena teman-teman perempuan saya tidak memiliki keberanian untuk menolak lamaran. Mereka takut dengan karma, ketika kita menolak lamaran seorang laki-laki atau keluarganya, maka kita akan “kualat”. Bisa jadi, kita akan sulit dapat jodoh atau menderita karena ada lelaki yang sakit hati pada kita….”
Kalimat tersebut mengalir penuh emosional dari salah satu mahasiswi saya. Saat kali pertama dia antusias bertanya tentang pemberdayaan di desa, saya pikir hanya ketertarikan aktivis mahasiswi biasa. Ternyata dibalik setiap pertanyaannya selama ini memang memiliki motivasi yang kuat.
Selain persoalan nikah dini yang diceritakan mahasiswi saya di desanya, saya sudah terbiasa melihat langsung kondisi serupa di desa-desa dampingan saya. Anak perempuan dan laki-laki yang tidak berdaya melawan kehendak orang tua masing-masing. Dorongan untuk menikahkan anak perempuan dan laki-laki sebelum usia 18 tahun cukup beragam.
Pendidikan Bekal Masa Depan
Tidak ada bekal atau warisan yang terbaik selain pendidikan. Setiap orang tua berkewajiban untuk menyiapkan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Seorang ahli bernama Mahtab Narsimhan mengatakan, pendidikan yang baik, adalah hadiah yang terbesar untuk diri Anda sendiri dan orang lain. Pendidikan adalah bekal yang terbaik untuk masa depan kita dan anak.
Banyak orang mengatakan salah satu cara untuk mengubah nasib adalah melalui pendidikan. Termasuk pilihan mahasiswi saya yang telah mengingatkan saya pada pilihan Punita, gadis Nepal berusia 12 tahun saat itu. Saya rasa di antara kita pernah membaca kalimatnya yang cukup populer dikutip saat hari kasih sayang (Valentine day). Di usianya, Punita menyadari bagaimana bahaya pernikahan anak dari sebuah program yang didukung oleh UNFPA dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris. Dia bertekad memutus siklus dengan tetap bersekolah dan menjadi guru. Semua saudara perempuannya harus meninggalkan sekolah pada usia ke tujuh tahunnya untuk menikah. Jadi dia bertekad untuk terus belajar selama mungkin dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, hanya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia dan anak perempuan lain bisa melakukannya.
………………….
Artikel lengkap dapat dibaca di Peran Perempuan
*sumber gambar: pendidikan
Leave a Reply