Wow! Ternyata Berkebun Mampu Meningkatkan Prestasi Anak!

“Bunda, ini hadiah bunga buat bunda. Nanti kita siram ya bun, trus berbunga deh! Bunda suka?”

Pertanyaan “bunda suka?” dan “lucu kan bunda?” akan selalu dilontarkan si kecil saat dia membuat sesuatu. Termasuk kebiasaannya memetik bunga atau daun yang kemudian dia hadiahkan buat saya. Bentara Falasifa (Tara), anak kami yang bulan depan genap 5 tahun usianya. Dia suka sekali memetik bunga untuk bundanya. Suatu hari saya pernah mengatakan tentang perasaan bunga yang dipetik. Dia pun mulai paham bahwa dia sebaiknya tidak memetik bunga lagi. Namun, namanya anak-anak, kadang dia lupa dan terdorong untuk memetik bunga lagi. Namun kebiasaan itu sudah mulai berkurang. Kini dia lebih sering menanam bunganya sendiri.

Kebiasaan menanam bunga memang berawal dari kesukaannya memetik bunga untuk bunda. Namun bagaimana cara menanam bunga dia pelajari dari kebiasaan ayahnya. Ayahnya memiliki kebiasaan rutin menanam dan merawat tanaman. Meskipun kami tidak memiliki lahan luas, namun kami tetap bisa menanam bunga maupun sayuran di pot bunga kecil dan juga planter bag yang terbuat dari plastik bekas produk kemasan.

Sayuran yang ditanam ayah Tara juga selama ini selalu tumbuh subur. Lebih dari itu, kami bisa memanen dan menikmatinya untuk bumbu dan bahan masakan. Bukan hanya sayuran seperti bayam, sawi dan kangkung, daun kemangi, namun juga rempah-rempah seperti jahe, kunci, lengkuas, jahe, dan kunyit.

Nah, untuk beragam bunga, secara kebetulan kami tinggal merawat. Seorang teman kerja ayah Tara di kantor memberikan bunga yang cukup banyak. Sehingga di rumah kami tinggal merawat. Memang ada beberapa yang kami tanam sejak awal, namun lebih banyak pemberian dari teman.

Awalnya, Melihat Kebiasaan Orang Tua

Nah, jadi kebiasaan Tara mencoba menanam sesuatu tidak terlepas dari kebiasaan ayahnya. Lalu kebiasaan bundanya? Nah, dalam hal ini saya mengaku kurang telaten. Terkadang juga ada teman yang bertanya, misalnya mengapa sayurannya bisa begitu subur? Padahal beberapa teman juga menanam di planter bag. Nah, soal ini saya bisa menjawabnya karena saya memang menyaksikan bagaimana ayah Tara menanam. Misalnya, mempersiapkan tanah agar tetap lembab atau bagaimana memanfaatkan sesuatu yang ada di rumah untuk digunakan sebagai pupuk organik.

Namun ya…semua yang saya ceritakan hanya pengalaman sederhana di tengah keterbatasan kami. Keterbatasan lahan yang memang sangat sempit, keterbatasan kapasitas dan juga waktu. Karena soal waktu, tentu saja kami memanfaatkan waktu luang kami di sela kesibukan kerja dan kegiatan lainnya.

Tingkatkan Prestasi Anak

Soal manfaat berkebun atau menanam dapat meningkatkan prestasi anak, saya sendiri memang baru membacanya dari salah satu media. Tapi artikel soal berkebun dan parenting ini memang banyak jika kita mau mencarinya. Salah satunya dari artikel di Tirto.id, disebutkan bahwa cara berkebun sejak dini akan mengenalkan anak ke sistem pangan lokal berkelanjutan.

kegiatan berkebun mengajarkan anak mengolah kompos dari kafetaria sekolah, lalu menanam benih, memanen, dan memakan lagi hasil panen mereka. Berkebun juga mengubah status makanan tidak lagi dipandang sebagai komoditas konsumsi belaka. Tapi juga ada hasil jerih payah manusia di dalamnya.

Selain lebih menghargai makanan, anak-anak yang berkebun cenderung memiliki nilai akademik lebih baik. Penelitian terhadap 17 sekolah menyatakan terdapat perubahan positif anak di bidang pelajaran, terutama masalah kesehatan dan gizi sebanyak 69 persen. Di bidang pendidikan lingkungan dan pembenahan konsep diri, efek berkebun mempengaruhi nilai mereka sebesar masing-masing 30 persen.

Berkebun Merangsang Saraf Motorik

Selain mendapat manfaat positif di dalam akademik dan kebiasaan makan, anak-anak yang berkebun akan menerapkan aktivitas serupa saat dewasa. Fakta ini ditunjukkan hasil survei sebanyak dua ribu responden yang berkebun semasa kecil. Saat mereka berumur 18-85 tahun, mereka tetap masih berkebun, meski hanya di pekarangan rumah.

Berkebun juga membuat kemampuan beradaptasi anak dalam suatu kelompok menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan dalam berkebun mereka diharuskan berinteraksi dan bergotong royong. Setidaknya kepada pengajar atau orang dewasa lainnya yang membantu menanam. Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak difabel yang diajar berkebun. Kemampuan komunikasi nonverbal mereka meningkat, karena kegiatan tersebut mengembangkan keterampilan, ketertiban, dan hubungan positif dengan orang dewasa.

Membatasi Polusi dan Paparan Pestisida

Manfaat lain menanam di rumah juga sebagai salah satu upaya mengurangi polusi. Apalagi jika kita tanam satu pohon di halaman rumah. Kita juga bisa melibatkan si kecil untuk menentukan pohon apa yang akan ditanam, lalu melibatkan anak juga dalam kegiatan menanam pohon. Nah, saya sendiri di rumah memang belum ada pohon di dalam rumah yang kami tanam sendiri. Jadi baru sekadar sayur-mayur dan bunga.

Namun selama ini kegiatan menanam sayuran masih menyenangkan bagi si kecil. Nyatanya, ketika ayahnya ke luar kota, si kecil sudah asyik sendiri menanam bunga sendiri. Setidaknya, kebiasaan positif ini menajdi alternatif selain bermain dengan ikan-ikannya di kolam, main mobil-mobilan, dan menggambar.

Jadi jangan khawatir dengan lahan yang sempit ya bun? Menanam sayuran sendiri artinya kita membatasi jumlah polusi dan paparan pestisida.

***

Nah, sayangnya saya belum bisa menulis lebih panjang lagi. Jika memungkinkan, cerita tentang berkebun ini bisa saya teruskan kapan-kapan.

Terimakasih sudah membaca cerita saya. Mari terus berbagi inspirasi pengalaman parenting.

Salam hangat,

Alimah Fauzan

 

*Sumber gambar: beritagar

Leave a Reply