Saya Bukan Aktivis Galau!
Sebagai manusia dan perempuan, manusiawi jika saya sering galau memutuskan sesuatu. Namun sebagai aktivis atau pegiat sosial, saya sangat yakin dengan pilihan saya selama ini. Selama ini? Iya, karena saya menjadi aktivis bukan hanya setahun dua tahun. Namun sejak saya masih di sekolah menengah atas.
Aktivis yang saya maksud memang berbeda dengan ketika kita meiliki kegiatan di sekolah dengan kegiatan di luar sekolah. Kalau di sekolah, tentunya bahkan sejak saya TK sudah aktif di kegiatan di sekolah. Namun istilah aktivis ini saya bedakan, bahkan ketika saya sudah menyelesaikan pendidikan master saya, sesekali menjadi dosen, dan lain-lain, saya tetap memilih menjadi aktivis. Kisah saya ini pernah saya tulis di PeranPerempuan.
Kisah saya yang ditulis dengan judul “Menjadi PNS, Aktivis NGO, atau Ibu Rumah Tangga? itu memang cukup panjang. Tapi intinya saya hanya ingin mengatakan bahwa menjadi dosen tetap ataupun PNS itu memang impian rakyat Indonesia pada umumnya. Termasuk saya pernah memimpikannya juga. Namun, pengalaman hidup dan spiritualitas seseorang itu tidak sama. Itu baru pengalamannya, belum lagi bagaimana dia mencoba bekerjakeras dan bertahan demi pengalamannya itu. Termasuk pengalaman merasakan bagaimana kita bebas berpikir kreatif dan melakukan inovasi tanpa dibatasi aturan yang ribet. Selain itu, menghargai apa yang sudah kita dan orang lain bangun. Meskipun saya sebagai aktivis NGO, namun saya juga punya mimpi untuk lembaga tempat saya bekerja. Bukan hanya memperjuangkan mimpi saya, namun juga bersama-sama tim yang lain ikut memperjuangkan mimpi lembaga.
Yang juga lebih penting lagi adalah “nilai”. Sebuah “nilai” baik atau tidaknya sebuah profesi tidak sekadar diukur berdasarkan jumlah materi yang dihasilkan. Atau bahkan dapat menjamin nasibnya kelak sampai seumur hidupnya atau tidak.
Saya memiliki seribu satu macam alasan mengapa saya tetap memilih sebagai aktivis NGO. Hal yang sama dengan kondisi yang berbeda juga dirasakan oleh banyak orang selain saya. Termasuk pilihan ibu rumah tangga (IRT) untuk tetap menjadi IRT atau merangkap sebagai pengusaha kecil-kecilan dari rumahnya. Bayangkan jika semua orang tetap memperjuangkan mimpinya sebagai PNS, lalu siapa yang akan menjalankan peran sebagai agen perubahan di ranah lain? Siapa yang akan mengawasi atau mengawal kebijakan yang tidak mampu dikawal PNS? Dan semua peran lain yang bisa jadi tak mampu dilakukan PNS?
Begitupun untuk IRT, jika semua ibu-ibu hanya mau bekerja menjalankan bisnisnya di dalam rumah, lalu siapa yang akan mengurus hal-hal yang akan menjalankan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Misalnya seperti saya, saya bukan hanya bekerja di dalam kantor dengan menulis dan rapat. Lebih dari itu saya juga melakukan pekerjaan lobi dengan pemerintah daerah, sebagai fasilitator, menuliskan pembelajaran, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Benar, semua hal itu bukan hanya membutuhkan kapasitas untuk bisa berpikir inovatif, namun juga butuh kehadiran langsung, mengetahui dan memahami apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan butuhkan.[]
Sumber gambar: pinterest