Ayano Tsukimi: Hidupkan Kembali Mereka yang Tiada Melalui “Orang-orangan Sawah”

Ayano Tsukimi akrab disapa Ayano-san. Ternyata dia adalah sosok perempuan di balik begitu banyaknya kakashi atau orang-orangan sawah di Desa Nagoro, sebuah desa yang berlokasi di Pengunungan Selatan Pulau Shikoku di negeri Sakura Jepang. Di lembah boneka, kakashi lebih banyak daripada manusia. Kakashi adalah orang-orangan sawah yang digunakan petani untuk menakut-nakuti burung yang akan memakan panen mereka.

Awalnya dia menciptakan kakashi untuk mengusir burung, namun kemudian untuk mengenang dan ‘menghidupkan’ lagi warga desa yang telah meninggal dunia, maupun anak-anak yang tak lagi sekolah di desa itu. Jadi kakashi ada di hampir semua sudut desa. Termasuk di bangunan sekolah, dipenuhi orang-orangan sawah.

Membaca cerita Ayano-san, kita menemukan makna lain tentang sebuah kebahagiaan. Serta bagaimana membuat begitu banyak boneka sebagai terapi dari rasa kehilangan dan kesepian.

Akhir pekan ini, saya cukup santai di pagi hari menjelang siang. Melipat baju pun dapat terselesaikan dengan cepat. Namun, segalanya akan saya nikmati sambil mendengarkan musik atau siaran di radio. Nah, ada yang membuat saya penasaran dari laporan singkat sang penyiar tentang sebuah desa di Jepang yang dipenuhi dengan orang-orangan sawah. Desa tersebut adalah desa Nagoro.
Jangan bayangkan orang-orangan sawah di sana seperti orang-orangan sawah di desa-desa negeri kita tercinta, Indonesia. Karena setelah saya googling dan mencari artikel tentang desa Nagoro ini, orang-orangan sawah itu menurut saya lebih tepat disebut boneka. Orang-orangan sawah khas Indonesia biasanya cukup kayu dikasih kain dan topi, serta diletakkan di tengah atau pinggir sawah. Namun di Nagoro ini saya lebih memilih menyebutnya sebagai boneka. Kenapa? Karena bentuknya dan bahannya dibuat cukup serius dan butuh ketrampilan khusus, bukan sekadar tancap kayu dan dikasih kain. Boneka-boneka di Nagoro hampir ada di tiap sudut desa. Meraka juga menggambarkan beragam macam bentuk manusia dan warga desa Jepang. Baju mereka beragam, serta posisi mereka diatur sedemikian mungkin sedang melakukan beragam aktivitas. Ada yang seperti sedang mengobrol, mencangkul di sawah, menunggu alat transportasi di pinggir jalan, mengobrol di sebuah pondok, ada juga sebuah ruangan kelas laiknya sekolah, dan beragam pose aktivitas.

Ide Seorang Perempuan Meramaikan Desanya

Informasi tentang pulau Shikoku begitu banyak jika kita mau mencarinya. Termasuk liputan seorang jurnalis BBC Indonesia bernama Don George di BBC Travel. Dia menulis tentang desa ini dengan penuturan khas orang yang memang mengalami langsung pernah berkunjung di sana. Judul laporan panjang George adalah “Kisah unik desa di Jepang yang dihuni orang-orangan sawah”. Dibandingkan tulisan lain tentang Pulau Shikoku, laporan George ini cukup membantu saya mengetahui situasi di sana dan seakan saya ikut hadir dan merasakan berada di sana. Termasuk tentang sosok perempuan maestro di balik sashaki, istilah di Jepang untuk menyebut orang-orangan sawah. Sementara artikel di media online lainnya pada umumnya membuat judul-judul bombastis tentang desa ini, bahkan dibumbui sesuatu yang menyeramkan. Tapi membaca tulisan George ini kita menemukan makna lain sebuah kebahagiaan. Bagaimana membuat begitu banyak boneka sebagai terapi dari rasa kehilangan dan kesepian.

Menurut pengalaman George, perjalanan menuju desa Nagoro hanya bisa melalui satu lajur menuju lembah-lembah pegunungan menuju jembatan kayu. Desa tersebut katanya begitu lengang, tampak tak berpenghuni. Saat melewati rumah-rumah dengan beragam bentuk, dia kali pertama melihat ada tiga sosok di kejauhan yang bersandar di tiang listrik.

Tiga sosok itu digambarkan George sebagai menggunakan sepatu boots dari karet, mengenakan celana dan jaket petani dari bahan kasar, dan mengenakan sarung tangan putih di tangannya. Mereka juga mengenakan topi baseball, tapi ada yang aneh dari postur mereka. Mereka tak terlihat seperti manusia. Dan saat saya semakin dekat, saya tahu bahwa mereka bukan manusia. Wajah mereka terbuat dari kain putih, tembam dan seperti bantal, mata mereka dari kancing dan alis mereka dari benang hitam. Selain tiga sosok tersebut, tidak jauh dari mereka ada sosok berukuran manusia ini mendorong gerobak di ladang, dan satu lagi, yang sedang mencabut rumput, dan ada lima sosok lain yang duduk di bangku di perhentian bus.

Boneka-boneka yang digambarkan George terasa hidup, mengenakan sepatu kets hitam, celana panjang dan baju terusan abu-abu, tangannya juga mengenakan sarung tangan dan kepalanya tersembunyi di bawah topi.

Tidak lama kemudian, dia bertemu sosok manusia sesungguhnya, yaitu Ayano Tsukimi, atau akrab disapa Ayano-san. Ternyata dialah maestro orang-orangan sawah di Nagoro.
Ini si Don George yang menulis di BBC tentang Pulau Shikoku (Sumber foto: https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-45028042)
Ayano-san tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Di jalur dekat pintu masuk rumahnya, ada beberapa sosok orang-orangan sawah lain: seorang gadis dengan seragam sekolah; ibu dengan bayi di pangkuannya; seorang pria tua dengan setelan jas memegang rokok. Di rumahnya, boneka-boneka lebih banyak lagi, semuanya adalah karya-karyanya, termasuk pasangan yang mengenakan kimono pernikahan tradisional, berdiri secara formal di ujung ruangan. George menggambarkannya seperti karakter di episode The Twlight Zone. Ayano-san lahir dan tumbuh besar di desa Shikoku, tapi pergi ke Osaka mengikuti orang tuanya dan dia sempat belajar di sekolah menengah di sana. Dia juga pernah tinggal di Osaka, menikah, dan punya anak. Sampai suatu hari orang tuanya pindah kembali ke Shikoku, dan tidak lama kemudian ibunya meninggal dunia, dia pun kembali lagi ke Nagoro untuk mengurus ayahnya pada tahun 2002. Tahun itulah, kali pertama Ayano-san membuat kakashi pertamanya.

Awalnya Hanya untuk Menakut-takuti Burung

Awal mula membuat orang-orangan sawah, tujuan Ayano-san hanya untuk untuk menakut-nakuti burung. Burung-burung itu memakan biji-bijian dari ladang warga. Dia kemudian membuatnya lebih banyak lagi untuk tujuan yang sama. Sampai suatu hari tetangganya meninggal dunia. Tetangga itu sangat akrab dan menjadi teman bicaranya setiap hari. Karena rindu tetangganya yang tak mungkin hidup lagi, dia pun membuat kakashi yang mirip tetangganya, agar dia dapat menyapanya setiap hari. Semakin hari semakin banyak penduduk desa yang meninggal. Dia pun akan semakin banyak membuat sashaki untuk untuk mengenang mereka dan menjaga mereka tetap hidup.

Gedung Sekolah Penuh Boneka

Selain di rumah-rumah dan pinggir jalan, Ayano-san juga membuat boneka yang ditempatkan di ruang kelas sekolah dasar. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang telah ditutup karena muridnya semakin hari semakin berkurang. Semua pelajar di daerah Shikoku pergi ke sekolah yang jaraknya 30 menit dengan bus.
Salah satu sekolah yag sudah ditutup dan sekaranga diisi boneka buatan Ayano-san. (Sumber foto: http://travel.tribunnews.com/2016/12/22/nogoro-hii-ngeri-inilah-desa-mati-di-jepang-yang-penduduknya-diganti-ratusan-boneka
Orang-orangan sawah hampir ada di tiap sudut desa ini. Di bangunan sekolah bahwa orang-orangan sawah ada yang menjadi kepala sekolah yang sedang mengawasi lorong sekolah, guru dari orang-orangan sawah berkumpul di ruang guru, dan di kelas, 20 murid dari orang-orangan sawah duduk dengan patuh di meja mereka, dengan buku terbuka, dan melihat ke arah guru orang-orangan sawah di depan kelas.

Di papan tulis di belakang si guru tertulis, ‘Mimpi masa depan saya’ — versi Jepang dari ‘Apa yang ingin saya lakukan di masa depan’.

Dalam cerita Don George, satu tahun kemudia dia kembali ke Shikoku. Ceritanya tentang desa Nagoro memang cukup panjang, namun karena dilengkapi gambar dan penuturannya yang membuat kita bisa bernafas teratur , maka tulisannya tak membosankan. Satu hal kalimat terakhir Ayano-san yang dikutip George adalah :

“Saya cukup bahagia di sini. Saya berada di antara teman-teman saya. Dan lihat! Mereka membawa teman-teman baru juga ke desa saya!”

Sumber foto: Ayano-san  

Leave a Reply