Kenapa Dangdut? Kenapa Bukan Lagu Anak-anak?

Mengapa sih kalau di tempat hiburan yang diputar selalu lagu dangdut? Kenapa bukan lagu anak-anak?

Kira-kira demikian inti dari status yang saya baca dari beranda facebook sahabat saya, Farida Mahri. Baru kemarin, 31 Desember 2018 saya membacanya. Dia menuliskan pernyataan anaknya, Farah. Bunda, tentu saja maksud dari penyebutan istilah musik dangdut bukan untuk merusak citra dari musik itu sendiri. Namun lebih kepada kritik sosial atas kebiasaan masyarakat atau sistem penyelenggara tempat wisata yang tidak ramah anak. Tempat wisata atau tempat hiburan merupakan tempat di mana setiap orang yang datang untuk menghibur diri dan meluangkan waktunya untuk bersantai, bukan hanya mereka yang belum berkeluarga, namun juga mereka yang sudah berkeluarga dan biasanya tujuan mereka memang menghibur anak-anaknya dan ada juga yang sambil mempelajari sesuatu.

Seperti anak-anak pada umumnya, Farah juga mendambakan suasana lingkungan yang nyaman dan ramah anak. Bedanya, dia mampu mengungkapkannya dan ibunya yang juga peduli dan kritis mampu menangkap maksud dari pernyataan anaknya.

Keresahan Farah dan ibunya tentu juga sering dirasakan orang tua lainnya. Menurut saya, orang tua memang seharusnya demikian. Karena saya sendiri untuk hal-hal seperti ini cukup peka. Saya sadar bahwa kondisi yang kita dambakan kadang tak sesuai dengan kehendak kita. Seperti kalimat saya di postingan-postingan sebelumnya tentang menguatkan hati. Bahwa, seberapa kuat kita melindungi anak kita dari dunia yang tak ramah anak, satu saat di luar sana dia akan menemui ragam lingkungan. Termasuk lingkungan yang sudah kita upayakan agar tak tersentuh anak kita.

Saya sadar, apa yang disuguhkan oleh anak saya mungkin saja berbeda dengan anak yang lain. Namun setidaknya, kita berusaha menguatkan hatinya termasuk soal musik. Suatu hari saya mengajak Tara ikut kegiatan saya keluar kota. Di dalam perjalanan di sebuah travel, sang supir menyalakan musik dangdut koplo. Lalu tiba-tiba Tara nyeletuk “Bunda, itu kan lagu orang dewasa, gak baik buat aku ya bun? Bukan lagu buat aku,” demikian pernyataan Tara yang tentu saja terdengar sang supir. Akhirnya pak supir pun mulai mengganti channelnya.

Kalimat Farah anak mba Farida Mahri tentu saja mengingatkan saya pada Tara. Meskipun mba Ida hanya mengungkapkan kritik anaknya melalui medsos, namun ini bukan sekadar kritik. Jangankan orang dewasa yang punya kebebasan memilah lagu apa yang ingin dia dengar, iramanya maupun liriknya. Apalagi untuk anak yang masih rentan perkembangan psikologisnya, tentu saja anak harus diprioritaskan.

Sayangnya, masyarakat pada umumnya apalagi di tempat-tempat wisata tidak peduli soal lagu apa yang tepat untuk anak-anak. Tidak peduli dampak yang ditimbulkan dari sebuah lagu terhadap perkembangan psikologi anak, apalagi lirik lagunya diulang terus menerus.

Bayangkan, jika lirik lagunya yang centil dan cengeng, bertemakan cinta, perselingkuhan, seolah menjadi bumbu utama dalam memproduksi sebuah lagu. Bahkan tidak sedikit yang menyisipkan lirik yang kurang santun, mesum, dan erotis. Tidak peduli dengan dampak yang diciptakannya, yang penting untung.

Psikologi Anak Tercedera

Selain di tempat wisata, odong-odong yang jelas-jelas diperuntukkan untuk anak-anak juga ternyata memutar lagu-lagu untuk orang dewasa terutama lagu dangdut. Saya sendiri selama ini tidak pernah menemukan langsung odong-odong  yang memutar  musik dangdut. Namun, di salah satu artikel yang saya baca di kompasiana pernah ada yang membahasnya. Ternyata memang ada juga odong-odong yang memutar lagu dangdut.

Artikel yang saya baca di kompasiana berjudul “Lagu Odong-odong, Apakah Ramah Anak?” ditulis oleh mba Widi Reka Altiawati. Membaca artikelnya sangat asyik dan penuh gizi. Saya membayangkan penulisnya adalah seorang psikolog anak. Apa yang ditulisnya saya sangat sepakat, membayangkan bagaimana emosi anak-anak yang mengonsumsi lagu-lagu orang dewasa padahal belum pantas untuk mendengarnya.

Fakta bahwa anak-anak saat ini cepat tumbuh dewasa dari usianya, bisa kita baca dari sejumlah pemberitaan terkait kasus-kasus remaja dan anak-anak remaja di lingkungan sekitar kita. Bagaimana gaya mereka berpacaran dan sejumlah kasus kriminal lainnya terkait remaja. Dewasa dalam hal ini bukanlah dalam artian mental tetapi pola pikir yang sebenarnya keliru. Di media sosial (medsos), jejak mereka juga bisa temui, bagaimana anak-anak menjadi senang mendramatisir keadaan, merasa tidak berharga, menjadi pemurung, prestasi menurun, dan berbagai dampak buruk lainnya.

Menurut mba Reka dan saya sepakat, psikologi anak-anak yang terdampak lagu-lagu orang dewasa ini pada akhirnya cedera hanya karena sebuah lagu. Mereka akan menemukan dirinya di tengah masyarakat hanya sebagai pemuas nafsu. Mereka menjadi meyakini bahwa pacaran adalah suatu hal yang diperbolehkan, perselingkuhan itu wajar, pengkhianatan itu tidak masalah, juga meyakini bahwa tindakan dan kata-kata erotis dan cinta adalah sesuatu yang lumrah. Lebih parahnya lagi tanpa mereka sadari mereka akan menghayati, terasumsi, bahkan tersugesti sebuah lagu mengenai kisah hidupnya. Miris sekali.

Nah, terkait tempat-tempat wisata yang ramah anak, KPI dan Kemenpar juga pernah mengeluarkan imbauan terkait tempat hiburan ramah anak. Berikut adalah imbauannya.

1. Pilih tempat hiburan 

Orangtua memiliki peran untuk memilih dan menentukan tempat hiburan yang diinginkan anak dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan anak. Keamanan dan kenyamanan tersebut sesuai dengan usia dan tumbuh kembang mereka.

Peran orangtua harus mengutamakan keselamatan jiwa anak dengan mencegah dan bersiap segala bentuk kemungkinan terjadinya hal yang tak diinginkan pada anak.

Salah satu caranya dengan memasang identitas anak sebelum ke tempat wisata bila diperlukan. Jika hilang, atau ditemukan petugas, anak akan mudah terdata untuk dikembalikan pada orang tuanya.

2. Mendampingi anak 

Peran orangtua senantiasa mendampingi anak-anak baik secara langsung (bersama orangtua) atau pun tidak langsung (tanpa orangtua) dalam aktivitas liburan anak dengan tetap memperhatikan keperluan dan kebutuhan anak di lokasi pariwisata.

Peran orangtua senantiasa mengawasi dan mengontrol anak dengan baik untuk memastikan aktivitas anak tidak melanggar aturan-aturan di tempat pariwisata.

3. Menyelipkan pendidikan 

Orangtua diharapkan memberikan edukasi agar kegiatan pariwisata menumbuhkan manfaat, cinta alam dan ramah lingkungan. Hal ini sinergi dengan poin sebelumnya yaitu mengontrol aktivitas anak di obyek wisata.

Dengan melakukan kontrol tersebut, orangtua juga bisa menanamkan pendidikan-pendidikan taktis kepada anak di obyek wisata, seperti buang sampah pada tempatnya, tidak merusak obyek wisata dan lainnya.

4.Mengutamakan keselamatan 

Orangtua harus mengutamakan keselamatan anak-anak dan keluarga di tempat pariwisata.

Hal tersebut berkaitan dengan wahana yang digunakan, waktu melakukan aktivitas (hindari larut malam), dan tentunya orang tua harus menghindari konsumsi minuman beralkohol, pemakaian obat-obat terlarang dan segala jenis narkoba.

****

Bunda, sementara itu dulu sharing saya kali ini. Mohon maaf ya bunda jika dalam sharing saya kali ini ada yang menyinggung. Jika ada yang keliru, silahkan sampaikan kritiknya. Dengan senang hati saya akan memperbaikinya.

Salam hangat,

Alimah Fauzan

Referensi tambahan:

– https://m.detik.com/news/berita/d-4065441/kpai-dan-kemenpar-minta-semua-tempat-wisata-ramah-anak

– https://www.kompasiana.com/widirekathawati/57ec36d1a823bd1932df6d86/lagu-odong-odong-apakah-ramah-anak

Leave a Reply